Chapter 2
"AKU
menang!" teriak Elliot. Ia langsung berdiri dan mengacungkan kedua kepalan
tinjunya.
"Tiga
dari lima!" aku menuntut sambil mengurut-urut pergelangan. "Ayo tiga
dari lima. Kecuali kalau kau tidak berani."
Aku tahu
Elliot tak bakal bisa menolak kalau ditantang begitu. Ia paling sebal dituduh
takut. Langsung saja ia duduk lagi di kursinya.
Kami
sama-sama mengambil posisi di meja dan saling mencengkeram tangan. Sudah
sekitar sepuluh menit kami adu panco. Asyik juga, lho, sebab mejanya ikut
terguncang setiap kali karavannya melewati lubang di jalan.
Aku dan
Elliot sama kuat. Tapi ia lebih ngotot. Jauh lebih ngotot.
Belum pernah
aku melihat orang yang begitu ngotot kalau adu panco!
Bagiku,
permainan ya cuma permainan. Tapi bagi Elliot setiap permainan adalah urusan
hidup atau mati.
Sudah
sekitar lima kali ia memenangkan dua dari tiga pertandingan.
Pergelanganku
pegal dan jemariku nyeri. Tapi aku benar-benar ingin mengalahkannya dalam
pertandingan yang terakhir ini.
Aku
membungkuk sedikit dan meremas tangannya. Sambil mengertakkan gigi, kutatap
matanya yang cokelat tanpa berkedip.
"Ayo!"
serunya.
Kami
sama-sama mengerahkan segenap tenaga.
Aku
mendorong keras-keras. Tangan Elliot mulai terdesak mundur.
Kudorong
tangannya lebih keras lagi. Sedikit lagi aku akan menang.
Sedikit
lagi.
Ia mengerang
dan memejamkan mata. Wajahnya jadi merah padam.
Urat-urat di
sisi lehernya menegang.
Adikku
paling tidak tahan kalau kalah.
GUBRAK!
Punggung
tanganku menghantam permukaan meja.
Elliot
menang lagi.
Sebenarnya
sih, aku sengaja membiarkannya menang. Aku tidak mau kepalanya sampai meledak
cuma gara-gara adu panco ini.
Ia berdiri
dan mengacung-acungkan tangan merayakan kemenangannya.
"Hei!"
tiba-tiba Elliot berseru karena karavan berayun keras, lalu tubuhnya terempas
ke dinding samping.
Karavan
berayun sekali lagi. Aku berpegangan pada tepi meja agar tidak terlempar dari
kursi. "Ada apa ini?"
"Kita
berubah arah. Sekarang kita menuju ke bawah," jawab Elliot.
Dengan hati-hati
ia kembali ke meja.
Tapi kami
kembali terguncang keras, dan kali ini Elliot terempas ke lantai. "Hei kita
mundur!"
"Pasti
Mom yang nyetir," ujarku sambil berpegangan pada tepi meja dengan kedua
tangan.
Mom selalu
menyetir seperti orang gila. Kalau kami memperingatkan bahwa kecepatannya sudah
delapan puluh, ia selalu bilang, "Masa, sih? Rasanya seperti tiga
lima!"
Karavan
melonjak-lonjak dan terguncang-guncang menggelinding ke bawah. Elliot dan aku
ikut terguncang-guncang di dalam.
"Ada apa
sih dengan Mom dan Dad?" Elliot berseru. Ia berpegangan pada salah satu
tempat tidur sambil berusaha menjaga keseimbangan. "Mau ke mana kita?
Kenapa kita mundur?"
Karavan itu
meluncur ke bawah. Dengan susah payah aku berdiri dan maju terhuyung-huyung untuk
melihat mobil. Aku menyingkirkan tirai merah bermotif kotak-kotak dan mengintip
lewat jendela yang kecil.
"Oh...
Elliot..." aku berkata dengan suara parau. "Kita punya masalah."
"Hah?
Masalah? Masalah apa?" tanyanya, sementara karavan kami melaju semakin
kencang.
"Kita
tidak lagi ditarik Mom dan Dad," aku memberitahunya. "Mobil kita
sudah tak ada."
Bagi anda yang berminat dengan permainan kartu
online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di
agen judi online dan daftar menjadi
member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus.
Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan
menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar