Chapter 25
"AKU... tidak... bisa... makan...
apa-apa lagi," Tabby berkata dengan susah-payah.
Mulut Tabby berlepotan cokelat. Bahkan ada
cokelat yang tersangkut di rambutnya yang pirang.
Lee membungkuk di rumput. Ia memegang
perutnya sambil mengerang-erang. "Oh, perutku tidak keruan rasanya,"
gumamnya. Ia bersendawa keras-keras. Dan kembali mengerang.
"Habis ini aku tidak mau melihat permen
lagi," bisik Walker.
Aku hendak menyahut. Tapi mulutku penuh.
"Masih banyak rumah!" ujar salah
satu kepala labu. "Masih banyak rumah! Kalian tidak bisa berhenti!"
"Jangan begitu, dong!" Tabby
memohon.
Lee masih membungkuk. Sekali lagi ia
bersendawa keras-keras.
"Sekarang sudah hampir tengah
malam!" Tabby memprotes. "Kami harus pulang."
"Masih banyak rumah yang harus
didatangi," salah satu kepala labu berkata padanya sambil memicingkan
matanya yang menyala-nyala.
"Kalian harus terus berkeliling. Untuk
selama-lamanya!"
"Tapi kami sudah tidak kuat!" Lee
mengerang sambil memegang perutnya.
"Kami sudah tidak sanggup lagi
berkeliling!"
"Lagi pula semua orang sudah
tidur," ujar Walker. "Takkan ada yang membukakan pintu malam-malam
begini."
"Daerah ini BERBEDA!" balas si
kepala labu.
"Di daerah INI tak ada masalah!"
makhluk yang satu lagi menimpali. "Di daerah ini, kalian bisa keliling
SELAMA-LAMANYA!"
"Tapi—tapi—tapi..." aku tergagap.
Aku tahu tak ada gunanya membantah. Kedua
makhluk itu akan memaksa kami terus berkeliling. Mereka takkan peduli pada
protes kami. Dan mereka takkan membiarkan kami pulang.
"Masih banyak rumah! Ayo, keliling lagi!
Keliling selama-lamanya!"
Tabby membantu Lee berdiri. Ia memungut
kantong permen Lee dan menyerahkannya padanya. Ia menepis rambut yang menutupi
wajahnya, dan meraih kantong permennya sendiri.
Berempat kami melintasi jalan sambil menyeret
kantong-kantong permen yang sudah penuh sesak. Udara malam terasa dingin dan
lembap. Angin kencang menggoyang pepohonan dan membuat daun-daun mati
beterbangan di sekitar kaki kami.
"Orangtua kita pasti sangat cemas,"
Lee bergumam. "Sekarang sudah larut malam."
"Mereka memang harus cemas!"
komentar Tabby dengan suara gemetar.
"Bisa jadi kita takkan pernah bertemu
lagi dengan mereka."
Lampu teras di rumah pertama yang ada di
seberang jalan masih menyala. Kedua kepala labu memaksa kami melangkah ke
teras.
"Sudah terlalu malam untuk minta
permen," Lee memprotes.
Tapi kami tak punya pilihan. Aku menekan bel
pintu. Kami menunggu.
Tubuh kami menggigil. Perutku terasa tidak keruan akibat
terlalu banyak dijejali permen dan cokelat.
Perlahan-lahan pintu depan membuka.
Bagi anda yang berminat dengan permainan kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di taruhan bola online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar