Chapter 28
SEKALI lagi
kutiup peluit yang tak bersuara itu.
Kemudian aku
berpaling ke jendela. Ayo dong, Buster. Kenapa kau belum muncul juga?
Rupanya para
kurcaci juga berpikir sama. Karena mereka pun berdiri seperti patung.
Segala
coleteh, tawa cekikikan, dan sorak-sorai mendadak berhenti.
Satu-satunya
bunyi yang terdengar adalah helaan napasku. .
Aku menatap
jendela. Buster belum kelihatan.
"Hei...!'"
Aku berpaling ketika mendengar seruan Moose.
"Lihat
mereka!" suara Moose bergema dalam keheningan.
"Lihat-semua
tiba-tiba diam!" ujar Mindy. Ia menempelkan kedua tangan pada topi merah
salah satu kurcaci-dan mendorongnya sampai terbalik.
Kurcaci itu
jatuh ke lantai. Tidak bergerak.
"Ada
apa ini?" tanya Moose sambil garuk-garuk kepala.
Aku berjalan
ke sana ke mari sambil menggenggam peluitku. Setiap kurcaci yang kulewati
kuamati dengan saksama, lalu kudorong hingga terbalik.
Aku
betul-betul menikmati suasana yang mendadak sunyi.
"Mereka
tersihir lagi" Mindy bergumam.
"Tap
kenapa?" tanya Moose. "Kan, Buster tidak muncul. Kalau mereka tidak
takut anjing, kenapa mereka tiba-tiba jadi patung lagi?"
Sekonyong-konyong
aku mendapatkan jawabannya. Kuangkat peluitku dan kutiup sekali lagi.
"Karena peluit ini," aku menjelaskan. "Bukan karena Buster. Aku
keliru. Mereka tidak takut anjing. Mereka takut peluit ini."
"Ayo,
kita pulang saja," ujar Mindy pelan. "Seumur hidup aku tidak mau
melihat kurcaci lagi."
"Tunggu
sampai kuceritakan semuanya ini pada orang tuaku!" kata Moose dengan
berapi-api.
"Wah!"
seruku sambil meraih bahunya. "Kita tidak boleh menceritakan ini pada
siapa pun. Jangan!"
"Kenapa
tidak?" tanya Moose.
"Soalnya
takkan ada yang percaya," sahutku.
Moose
menatapku agak lama. "Hmm, benar juga," akhirnya ia bergumam.
"Benar juga."
Mindy
menghampiri dinding dan memandang ke jendela. "Bagaimana cara kita keluar
dari sini?"
"Aku
tahu," ujarku. Aku mengangkat Hap dan Chip, menegakkan keduanya di bawah
jendela. Kemudian aku naik ke topi mereka, meraih ambang jendela, dan memanjat
keluar. "Terima kasih atas bantuannya!" seruku.
Mereka diam
saja.
Dalam hati
aku berharap mereka tetap jadi patung untuk selama-lamanya.
Mindy clan
Moose segera menyusul. Buster tentu saja sudah menunggu di pekarangan.
Ekornya yang
pendek langsung bergoyang-goyang ketika melihat kami datang. Ia berlari
menghampiri dan menjilat-jilat wajahku sampai basah dan lengket.
"Sori,
Buster. Kau agak terlambat," kataku padanya. "Kau tidak banyak
membantu!"
Ia kembali
menjilat-jilat. Sesudah itu ia menyambut Mindy dan Moose.
"Hore!
Kita bebas! Kita bebas!" Moose bersorak-sorai sambil menepuk pundakku.
Saking
kerasnya, serasa gigiku rontok semua.
Aku
berpaling pada Mindy "Gelitik! Gelitik! Gelitik!"
"Jangan
macam-macam!" seru Mindy sambil memutar-mutar bola mata untuk keseribu
kalinya hari itu.
"Gelitik!
Gelitik! Gelitik!" Aku berlagak mau menggelitiknya, mengejarnya sampai ke
jalanan.
"Joe-sudah!
Jangan gelitiki aku! Awas kau!"
"Gelitik!
Gelitik! Gelitik!"
Aku tahu aku
takkan pernah bisa melupakan sorak-sorai yang melengking-lengking itu.
Aku tahu aku
akan terus mendengarnya dalam mimpi, sampai waktu yang sangat lama.
Malam
berikutnya Mindy dan aku sedang menonton MTV di ruang baca ketika Dad pulang
dari kantor.
"Kalian
harus bersikap manis pada Dad," Mom sempat berpesan sebelumnya. "Dad
marah sekali karena kedua kurcacinya dicuri orang."
Ya, Hap dan
Chip memang tidak ada lagi di tempat, sewaktu Dad bangun.
Tentu saja.
Saking
gembiranya, Mindy dan aku tak sekali pun bertengkar hari itu.
Dan kini
kami gembira karena Dad sudah pulang - hanya saja - parasnya kelihatan agak
aneh.
"Ehm...
ada kejutan kecil yang kubawa pulang," katanya sambil melirik ke arah Mom,
seakan merasa bersalah.
"Apa
lagi sekarang?" Mom segera mengeluh.
"Ayo,
lihat sendiri, deh." Dad mengajak kami ke pekarangan depan.
Matahari
sudah mulai terbenam di balik pepohonan, dan langit tampak kelabu. Tapi aku
masih bisa melihat dengan jelas apa yang dibeli Dad di Lawn' Lovely kali ini.
Patung
gorila raksasa berwarna cokelat!
Tingginya
paling tidak dua setengah meter. Matanya hitam dan besar sekali dadanya ungu.
Tangan gorila itu sebesar sarung tangan baseball, kepalanya sebesar bola
basket.
"Ini
benda paling jelek yang pernah kulihat!" seru Mom. "Kau tidak
bermaksud menaruh monster mengerikan ini di pekarangan kita, bukan?"
Apa sajalah,
asal jangan kurcaci-kureaei pikirku.
Apa pun
lebih baik dari kurcaci-kurcaci yang selalu membuat onar itu.
Aku melirik
ke arah Mindy. Sepertinya kami berpikiran sama.
"Menurutku
patung ini bagus sekali, Dad," kataku. "Ini patung gorila paling
bagus yang pernah kulihat."
"Ya,
bagus sekali, Dad," Mindy membenarkan.
Dad
tersenyum.
Mom
berbalik, masuk ke rumah sambil geleng-geleng kepala.
Kutatap
wajah gorila yang dicat cokelat dan ungu itu. "Jangan nakal, ya,"
gumamku.
"Jangan
seperti kurcaci-kurcaci brengsek itu."
Aku hendak
membalik, dan saat itulah sang gorila mengedipkan sebelah matanya padaku.
END
Bagi anda yang berminat
dengan permainan kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link
situs kami di judi bola online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka
anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan
fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar