Chapter 20
"HAH?
Apa?" Aku menatapnya sambil terbengong-bengong.
Apa
maksudnya? Ke mana aku harus pergi? Apakah aku harus pergi seperti Dierdre dan
Alicia?
"Kau
harus pergi dari sini kecuali kalau kau ikut bertanding," Buddy menjawab.
Roman mukanya tidak berubah. "Kau tidak bisa cuma menonton terus. King
Jellyjam takkan setuju."
Rasanya
gumpalan jelek itu ingin kuinjak saja! kataku dalam hati.
Namanya pun
konyol. King Jellyjam. Idih!
Ucapan Buddy
sempat membuatku kaget setengah mati. Jangan-jangan ia memang sengaja
menakut-nakutiku? aku bertanya-tanya.
Tidak
mungkin, pertanyaan itu segera kujawab sendiri. Buddy tidak tahu bahwa aku
curiga. Dari mana ia bisa tahu?
Ia bergegas
ke lapangan basket. Punggung Jeff ditepuk-tepuknya.
Kemudian ia
menyerahkan King Coin emas. "Nah, selamat ya!" serunya sambil
mengacungkan jempol. "Sampai ketemu nanti malam di Upacara Juara. Hanya
Yang Terbaik!"
Buddy juga
berbicara sebentar dengan adikku. Elliot cuma angkat bahu. Lalu ia mengatakan
sesuatu yang membuat Buddy ketawa. Tapi aku tidak tahu apa yang dikatakannya.
Ketika
Elliot pergi untuk mengikuti pertandingan olahraga berikutnya, Buddy kembali
menghampiriku. Ia merangkulku dan menggiringku pergi dari lapangan basket.
"Kelihatannya
kau ini perlu bimbingan khusus, Wendy," ujarnya.
"Bisa
jadi," sahutku. Apalagi yang bisa kukatakan?
"Hmm,
aku akan memberikan jadwal untuk hari ini. Coba lihat apakah kau suka,"
kata Buddy. "Pertama-tama ada pertandingan tenis. Kau bisa main tenis,
kan?"
"Bisa
sih bisa," jawabku. "Aku tidak seberapa hebat, tapi..."
"Setelah
main tenis, datanglah ke lapangan softball, oke?" Buddy melanjutkan.
"Kami akan mencarikan tempat untukmu di salah satu tim."
Ia
menampilkan senyum ramah. "Aku yakin kau akan jauh lebih senang kalau kau
mengikuti kegiatan-kegiatan di sini betul, tidak?"
"Yeah.
Kurasa begitu," balasku. Sebenarnya aku ingin lebih bersemangat. Tapi
tidak bisa.
Buddy
mengajakku ke salah satu lapangan tenis. Seorang gadis sebayaku sedang
melakukan pemanasan dengan memukul-mukul bola tenis ke dinding.
Gadis itu
berbalik dan menyapaku ketika kami mendekat. "Hei, mau main?"
"Boleh,"
kataku. Kami saling memperkenalkan diri.
Namanya
Rose. Ia cantik dan jangkung. Ia mengenakan kaus tanpa lengan berwarna ungu dan
celana pendek hitam. Aku melihat anting perak menggelantung dari telinganya.
Buddy
menyerahkan raket. "Selamat bertanding," ujarnya. "Dan awas,
Wendy. Rose sudah punya lima King Coin!"
"Kau
jago main tenis, ya?" tanyaku sambil memutar-mutar raket di tanganku.
Rose
mengangguk. "Yeah. Lumayan. Kau bagaimana?"
"Entahlah,"
aku berterus terang. "Temanku dan aku selalu bermain sekadar iseng
saja."
Rose ketawa.
Aku suka suara tawanya. Rasanya aku jadi kepingin ikut ketawa. "Aku tidak
pernah main sekadar iseng!" ia memberitahuku.
Dan nyatanya
memang begitu.
Kami
pukul-pukulan bola selama beberapa menit, sebagai pemanasan.
Rose
membungkuk, mengencangkan otot-otot, memicingkan mata lalu membalas pukulanku
seakan-akan ini set terakhir dalam suatu kejuaraan.
Pukulannya
malah lebih keras lagi setelah kami mulai bertanding.
Dalam waktu
singkat aku sadar bahwa aku bukan tandingannya.
Masih untung
aku bisa mengembalikan beberapa servis-nya!
Rose tidak
sok. Aku sempat melihatnya tersenyum sendiri ketika melihat pukulan backhandku,
tapi ia tidak mengejekku. Ia justru memberikan petunjuk-petunjuk berguna sambil
bermain.
Ia menang
straight set.
Aku
mengucapkan selamat padanya. Ia tampak gembira sekali karena berhasil
memenangkan King Coin-nya yang keenam.
Seorang
pembina yang belum pernah kulihat memasuki lapangan dan menyerahkan keping itu
kepada Rose. "Sampai ketemu di Upacara Juara nanti malam," wanita
muda itu berkata sambil tersenyum lebar.
Kemudian si
pembina berpaling padaku. "Lapangan softball ada di sebelah sana,
Wendy," ujarnya sambil menunjuk.
Aku
mengucapkan terima kasih dan mulai berjalan ke arah yang ditunjuknya.
"Jangan
jalan lari!" serunya. "Ayo, semangat sedikit! Hanya Yang
Terbaik!"
Aku
menggerutu. Tapi sepertinya ia tidak mendengar. Dengan setengah hati kupatuhi
sarannya dan mulai berlari.
Kenapa sih
aku selalu diburu-buru di sini? omelku dalam hati. Kenapa aku tidak boleh
bersantai dan berjemur di sisi kolam renang?
Aku agak
terhibur ketika lapangan softball terlihat di hadapanku. Aku memang senang main
softball. Aku memang tidak terlalu jago dalam menangkap bola. Tapi untuk urusan
memukul bola, akulah orangnya.
Kedua tim
yang sedang bertanding merupakan tim campuran cowok-cewek. Aku mengenali dua
cewek yang kulihat saat waktu sarapan tadi pagi.
Salah satu
dari mereka memberiku tongkat pemukul. "Hai. Aku Ronni. Kau bisa ikut tim
kami," katanya. "Kau bisa lempar bola?"
"Lumayan,"
sahutku. Tongkat pemukulnya kugenggam erat-erat. "Kadang-kadang aku jadi
pitcher kalau pulang sekolah."
Ronni
mengangguk. "Oke. Kalau begitu kau jadi pitcher di babak-babak awal."
Ia memanggil
anak-anak yang lain untuk berkumpul. Semuanya menyebutkan nama masing-masing
dan diberi posisi tertentu.
"Kalau
kita menang, kita semua dapat King Coin?" tanya anak laki-laki dengan tato
elang di pundaknya. Aku langsung tahu itu bukan tato, tapi gambar tempel.
"Ya,
semuanya," jawab Ronni.
Para pemain
langsung bersorak-sorai.
"Jangan
senang dulu. Belum juga mulai main!" seru Ronni.
Kemudian ia
menentukan urut-urutan memukul bola. Karena aku jadi pitcher, aku dapat urutan
kesembilan.
Tapi
berhubung aku sudah pegang tongkat, aku memutuskan untuk melatih ayunanku dulu.
Aku menjauhi yang lain dan menuju ke base ketiga.
Sambil
melonggarkan genggaman, kuayunkan tongkat pemukul. Pelan saja. Aku biasa
mengambil ancang-ancang tinggi. Aku tidak seberapa kuat, dan dengan cara itu
aku bisa memukul lebih keras.
Tongkat
pemukulnya lumayan enak di tanganku. Aku mengayunkannya beberapa kali lagi.
Lalu aku ambil
ancang-ancang tinggi sekali dan mengayunkan sekeras mungkin.
Aku tidak
tahu Buddy berdiri di situ.
Langsung
saja pukulanku menghantam dadanya. Aku mendengar bunyi tokkk yang menakutkan
ketika tongkatku membentur rusuknya.
Serta-merta
kulepaskan tongkat. Lalu aku melangkah mundur sambil membelalakkan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar