Chapter 22
AKU mencari
Rose dan Jeff. Aku juga mencari adikku sepanjang pagi.
Ia pasti sedang
mengikuti salah satu pertandingan olahraga. Aku berjalan dari lapangan sepak
bola di ujung sebelah sini sampai ke tempat berlatih golf di ujung sebelah
sana, tapi aku tidak melihatnya.
Jangan-jangan
Elliot ikut menghilang?
Pikiran yang
mengerikan itu terus menghantuiku.
Kami harus
kabur dari camp ini!
Kata-kata
itu terus kuulangi dalam hati sambil menyusuri jalan-jalan setapak yang
bersilangan.
Ke mana pun
aku pergi, King Jellyjam menatapku sambil nyengir.
Gambarnya
ada di mana-mana. Dan senyumnya membuatku merinding.
Aku semakin
yakin ada yang tidak beres di sini. Dan semakin lama aku berkeliling untuk
mencari adikku, semakin waswas pula perasaanku.
Buddy
menemuiku sehabis makan siang. Ia menggiringku kembali ke lapangan softball.
"Wendy, kau tidak bisa meninggalkan tim-mu begitu saja," katanya
tegas. "Lupakan soal kemarin. Kau masih punya kesempatan. Kalau tim-mu
menang hari ini, maka kalian semua akan memenangkan King Coin."
Aku tidak
mau memenangkan King Coin. Aku mau bertemu orangtuaku. Aku mau bertemu adikku.
Dan aku mau pergi dari sini!
Hari ini aku
tidak jadi pitcher. Aku mengambil posisi di sisi kiri lapangan. Di situ aku
punya cukup waktu untuk berpikir.
Aku
merencanakan pelarian kami.
Mestinya
tidak terlalu sukar, kataku dalam hati. Elliot dan aku akan menyusup keluar
sehabis makan malam, saat semua orang sedang asyik menyaksikan Upacara Juara.
Kami akan menuruni bukit dan kembali ke jalan raya. Dari situ kami akan
berjalan kaki atau menumpang mobil menuju ke kota terdekat yang memiliki kantor
polisi.
Dengan
bantuan polisi, aku yakin kami bisa menemukan Mom dan Dad dalam waktu singkat.
Gampang
sekali, bukan? Nah, sekarang tinggal menemukan Elliot.
***
Tim-ku kalah
tujuh sembilan.
Aku
melakukan kesalahan yang sekaligus mengakhiri pertandingan.
Anak-anak
yang lain kecewa sekali, tapi aku sama sekali tidak peduli.
Sampai
sekarang belum satu King Coin pun yang kumenangkan.
Ketika kami
menuju ke asrama, kulihat Buddy memperhatikanku. Ia kelihatan jengkel.
"Wendy setelah
ini kau ikut olahraga apa?" serunya padaku.
Aku berlagak
tidak mendengarnya dan terus saja berjalan.
Olahragaku
yang berikut adalah lari, pikirku dengan galau. Lari dari tempat yang
mengerikan ini.
Tanah mulai
bergetar dan bergoyang ketika aku melewati gedung utama. Kali ini aku tidak
ambil pusing dan terus berjalan ke asrama.
Elliot baru
kutemukan sehabis makan malam. Aku melihatnya keluar lewat pintu ruang makan
bersama dua temannya. Mereka asyik mengobrol, tertawa-tawa, dan saling
membenturkan dada sambil berjalan.
"Elliot!"
aku memanggil sambil mengejarnya. "Hei, Elliot—tunggu!"
Ia
berpaling. "Oh. Hai," katanya. "Bagaimana, beres?"
"Kau
lupa ya kalau kau punya kakak?" tanyaku dengan gusar.
Ia menatapku
sambil memicingkan mata. "Apa sih maumu?"
"Ke
mana saja kau?" tanyaku.
Serta-merta
ia nyengir lebar. "Aku sibuk memenangkan ini!" sahutnya. Ia
mengangkat kalung di lehernya untuk memamerkan keping-keping emasnya. "Aku
sudah dapat lima."
"Hebat,"
ujarku sinis. "Elliot kita harus pergi dari sini!"
"Hah?
Pergi?" Ia mengerutkan kening karena bingung.
"Ya,"
aku berkeras. "Kita harus keluar dari camp ini malam ini juga!"
"Tidak
bisa," balas Elliot. "Pokoknya tidak bisa."
Beberapa
anak melewati kami. Mereka sedang menuju ke tempat Upacara Juara. Aku mengikuti
Elliot keluar lewat pintu ruang makan.
Kemudian aku
menariknya dari jalan setapak, ke rumput di sisi bangunan.
"Kau
tidak bisa pergi? Kenapa tidak bisa?" tanyaku.
"Soalnya
aku harus memenangkan King Coin keenam dulu," jawabnya. Sekali lagi ia
memamerkan keping-keping emas yang telah diperolehnya.
"Elliot
tempat ini berbahaya!" aku berseru. "Dan Mom dan Dad pasti sudah "
"Ah,
kau cuma iri," ia memotong sambil menyodorkan semua King Coin-nya ke depan
hidungku. "Kau belum dapat satu pun ya, kan?"
Tanganku
langsung mengepal. Rasanya aku ingin mencekiknya.
Sungguh.
Ia selalu
ingin bersaing. Ia selalu ingin menang dalam segala hal.
Aku menarik
napas panjang dan berusaha berbicara dengan tenang.
"Elliot,
kau tidak mencemaskan Mom dan Dad?"
Sejenak
pandangannya beralih ke rumput. "Sedikit."
"Nah,
kita harus pergi dari sini dan mencari mereka!" ujarku berapi-api.
"Besok,
deh," sahutnya. "Setelah pertandingan atletik besok pagi. Setelah aku
dapat kepingku yang keenam."
Aku membuka
mulut untuk berdebat dengannya. Tapi untuk apa?
Aku tahu
kadang-kadang adikku sangat keras kepala. Kalau ia sudah berniat memenangkan
satu keping lagi, maka ia takkan pergi sebelum berhasil.
Percuma saja
berdebat dengannya. Dan aku juga tidak mungkin menyeretnya pergi. "Begitu
pertandingan atletik selesai besok pagi," kataku padanya, "kita pergi
dari sini! Tidak peduli kau menang atau kalah. Setuju?"
Elliot
berpikir sejenak. "Oke. Setuju," akhirnya ia berkata. Kemudian ia
pergi bersama kedua temannya.
***
Kali ini ada
empat anak yang ikut dalam Upacara Juara. Sambil menonton dari tribun, aku
memikirkan anak-anak yang sudah ikut sebelumnya.
Dierdre.
Rose. Jeff...
Apakah
mereka semua sudah pulang ke rumah masing-masing?
Apakah
mereka dijemput orangtua mereka? Apakah mereka sudah
selamat
sampai di rumah masing-masing?
Barangkali
aku merasa cemas tanpa alasan, kataku dalam hati.
Semua orang
di camp ini tampak riang gembira. Kenapa cuma aku yang merasa kuatir?
Lalu aku
teringat bahwa aku bukan satu-satunya orang yang cemas.
Wajah Alicia
yang basah karena air mata langsung terbayang.
Apa yang
dilihatnya hingga ia begitu ketakutan? Kenapa ia begitu ngotot mewanti-wanti
kami agar segera pergi?
Kemungkinan
besar aku takkan pernah tahu, pikirku.
Setelah
Upacara Juara selesai, aku enggan kembali ke asrama. Aku tahu aku pasti takkan
bisa tidur. Terlalu banyak masalah yang membebani pikiranku.
Sementara
anak-anak lain menuju ke kamar masing-masing, aku menyelinap ke bayang-bayang
pepohonan. Kemudian aku menyusuri jalan setapak ke bukit landai yang menuju ke
gedung utama.
Sambil
bersembunyi di balik semak-semak, aku merebahkan diri di rumput. Hawanya sejuk
dan langit tertutup awan. Udara malam terasa lembap.
Aku
memandang ke langit. Bulan dan bintang tertutup awan. Di kejauhan aku melihat
titik-titik cahaya berwarna merah bergerak melintasi kegelapan. Pesawat
terbang. Dalam hati aku bertanya ke mana pesawat itu pergi.
Jangkrik-jangkrik
mulai bersuara. Angin membelai-belai rambutku.
Sekali lagi
aku memandang ke langit yang tak berbintang. Aku berusaha mengendurkan otot-otot
dan menenangkan pikiran.
Setelah
beberapa menit aku mendengar suara-suara. Bunyi langkah.
Serta-merta
aku berlutut dan menunduk di balik semak-semak.
Suara-suara
itu bertambah keras. Aku mendengar suara tawa anak cewek.
Dengan
hati-hati aku mengintip dari tempat persembunyianku. Aku melihat dua pembina
bergegas menyusuri jalan setapak menuju ke puncak bukit.
Di belakang
mereka serombongan pembina lain juga berjalan cepat ke arah bukit. Sepertinya
mereka semua sedang terburu-buru.
Mereka mau ke
gedung utama, kataku dalam hati. Barangkali ada pertemuan pembina di sana.
Seragam
mereka yang serba putih mudah terlihat, biarpun malam begitu gelap. Sambil
berjaga-jaga agar tidak terlihat, aku memperhatikan mereka menaiki bukit.
Di luar
dugaanku mereka ternyata tidak masuk ke gedung utama.
Mereka
membelok beberapa meter sebelum pintu masuk dan menyusup ke hutan.
Mau ke mana
mereka?
Aku melihat
dua rombongan pembina lain menyusul ke hutan. Wah, kelihatannya ada sekitar
seratus pembina di camp ini. Dan semuanya malam ini masuk ke hutan.
Setelah
yakin semua pembina sudah lewat, aku berdiri pelan-pelan.
Aku
memandang ke hutan. Tapi yang terlihat hanya kegelapan.
Bayangan
demi bayangan.
Tiba-tiba
aku mendengar suara lagi. Cepat-cepat aku kembali bersembunyi.
Aku
mengintip dari balik semak-semak, dan melihat Holly dan Buddy. Mereka berjalan
berdampingan, dengan langkah panjang.
Aku menunggu
sampai mereka lewat. Kemudian aku langsung berdiri.
Sambil
menyelinap dari satu bayangan ke bayangan berikut, aku mengikuti mereka ke
dalam hutan.
Aku sama
sekali tidak memikirkan risiko ketahuan. Aku harus mencari tahu pergi ke mana
semua pembina itu.
Buddy dan
Holly berjalan dengan cepat menerobos hutan. Mereka membelah ilalang tinggi dan
melangkahi pohon-pohon tumbang.
Tiba-tiba
aku melihat bangunan putih di hadapanku. Bangunan itu seakan-akan bercahaya
dalam kegelapan malam.
Dinding-dindingnya
rendah. Bagian atapnya melengkung.
Aku
memicingkan mata dari balik pepohonan. Kelihatannya seperti igloo, rumah orang
Eskimo, pikirku.
Bangunan apa
ini? aku bertanya-tanya. Dan kenapa bangunannya tersembunyi di tengah hutan?
Di salah
satu sisi terdapat pintu masuk yang menyerupai lubang gelap.
Holly
melangkah masuk. Buddy segera mengikutinya.
Aku menunggu
hampir satu menit. Kemudian aku pun menyusul mereka.
Jantungku
berdegup-degup. Bangunannya aneh sekali. Bulat, dan licin bagaikan es.
Aku berhenti
sejenak. Aku mengintip melalui pintu masuk, tapi tidak bisa melihat apa pun di
dalamnya. Tak ada suara yang terdengar.
Apa yang
harus kulakukan? aku bertanya pada diriku sendiri.
Haruskah aku
masuk?
Ya.
Aku menarik
napas panjang, lalu melangkah maju.
Bagi anda yang berminat dengan permainan poker online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di agen judi poker online terpercaya dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar