Chapter 23
AKU menuruni
tiga anak tangga yang menuju ke ruangan yang remang-remang. Satu-satunya sumber
cahaya adalah sebuah lampu berwarna merah yang dipasang di dekat lantai.
Aku maju
pelan-pelan. Kemudian aku berhenti dan pasang telinga.
Samar-samar
aku mendengar suara-suara dari ruang sebelah.
Sambil
meraba-raba permukaan dinding beton yang tidak diplester, aku bergerak
mendekati suara-suara itu. Dalam waktu singkat aku menemukan sebuah pintu
terbuka di sebelah kananku.
Aku kembali
berhenti. Kemudian, hati-hati sekali aku memberanikan diri untuk mengintip.
Aku
memandang ke ruangan besar berbentuk bujur sangkar. Empat obor yang terpasang
pada dinding di bagian depan memancarkan
cahaya jingga yang berkerlap-kerlip.
Para pembina
menduduki bangku-bangku panjang yang terbuat dari kayu. Semuanya menghadap ke
panggung rendah di depan. Di atasnya terbentuk spanduk berwarna ungu dengan
tulisan: HANYA YANG TERBAIK
Rupanya ini
gedung teater, pikirku. Semacam tempat pertemuan.
Tapi kenapa
letaknya di tengah-tengah hutan?
Dan kenapa
semua pembina berkumpul di sini malam-malam begini?
Aku tidak
perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban pertanyaanku.
Buddy naik
ke panggung. Dengan langkah panjang ia berjalan dalam cahaya obor yang
berkerlap-kerlip, lalu berbalik menghadap rekan-rekannya.
Aku
beringsut maju. Di bagian belakang ruangan itu tak ada obor.
Keadaannya
gelap gulita.
Sambil
berjinjit aku menyusuri dinding belakang.
Aku
menemukan semacam lemari yang pintunya terbuka, dan tanpa pikir panjang aku
menyelinap masuk.
Buddy
mengangkat kedua tangan. Para pembina langsung berhenti mengobrol. Seketika
semuanya duduk tegak dan memandang ke arah panggung.
"Sudah
waktunya untuk menyegarkan diri," Buddy berseru. Suaranya bergema pada dinding-dinding
beton.
Para pembina
duduk dengan kaku. Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun bersuara.
Buddy
mengeluarkan keping emas dari sakunya. Pasti sebuah King Coin, kataku dalam
hati. Keping itu tergantung pada rantai emas yang panjang.
"Sudah
waktunya untuk menyegarkan diri," ujar Buddy. "Sudah waktunya untuk
memantapkan misi kita."
Keping emas
itu diangkatnya tinggi-tinggi. Permukaannya tampak berkilau-kilau dalam cahaya
obor. Buddy mulai mengayun-ayunkannya. Maju-mundur. Pelan-pelan.
"Kosongkan
pikiran kalian," katanya kepada rekan-rekannya. Nada suaranya terdengar
lembut. "Kosongkan pikiran kalian, seperti aku mengosongkan
pikiranku."
Keping emas
yang berkilau-kilau itu berayun maju-mundur. Maju-mundur. Perlahan-lahan.
"Kosongkan... kosongkan... kosongkan pikiran kalian," Buddy berkata,
seakan-akan membaca mantra. Ia menghipnotis mereka! aku menyadari.
Buddy
menghipnotis semua pembina lain. Dan ia sendiri juga sudah dihipnotis!
Aku maju
selangkah. Rasanya yang kulihat dan kudengar itu tak bisa kupercaya!
"Kosongkan
pikiran kalian untuk mengabdi kepada sang pemimpin!" kata Buddy.
"Itulah sebabnya kita berada di sini. Untuk mengabdi kepada sang pemimpin
dalam segenap kemuliaannya!"
"Mengabdi
kepada sang pemimpin!" para pembina lain menyahut berbarengan.
Siapa sang
pemimpin itu? tanyaku dalam hati. Apa maksud mereka?
Buddy terus
berbicara kepada para pembina. Matanya terbuka lebar.
Tak sekali
pun ia berkedip. "Kita tidak berpikir!" ia berseru. "Kita tidak
merasa! Kita menyerahkan seluruh diri kita untuk mengabdi kepada sang
pemimpin!"
Tiba-tiba
aku mendapatkan jawaban terhadap beberapa pertanyaanku.
Sekarang aku
tahu kenapa Buddy tidak meraung-raung kesakitan, kenapa ia tidak ambruk ketika
tongkat softball menghantam dadanya.
Ia berada di
bawah pengaruh hipnotis.
Ia dalam
keadaan tidak sadar. Ia tidak merasakan hantaman tongkat itu. Ia tidak
merasakan apapun.
"Hanya
Yang Terbaik!" teriak Buddy sambil mengacungkan kedua tangannya yang
terkepal.
"Hanya
Yang Terbaik!" para pembina mengikutinya. Wajah mereka yang tak berkedip
tampak aneh, seakan-akan beku, dalam cahaya jingga yang menari-nari.
"Hanya
Yang Terbaik! Hanya Yang Terbaik!"
Slogan itu
mereka serukan berulang-ulang. Suara-suara mereka bergema keras pada dinding-dinding.
Hanya mulut mereka yang bergerak. Seperti boneka.
"Hanya
Yang Terbaik yang pantas mengabdi sang pemimpin!" seru Buddy.
"Hanya
Yang Terbaik!" rekan-rekannya menyahut sekali lagi.
Sejak awal
pertemuan Buddy terus mengayun-ayunkan keping emasnya. Kini ia menyimpannya
kembali ke dalam saku celananya.
Suasana
menjadi hening.
Hening dan
menyeramkan.
Kemudian,
aku pun bersin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar