Horor Di Camp Jellyjam | Goosebumps #33 | Chapter 13

Chapter 13


UDARA malam terasa lebih panas daripada waktu Upacara Juara tadi. Dan lebih lembap. Ketika melangkah keluar dari asrama, rasanya seperti memasuki ruang mandi uap.


Seekor nyamuk berdengung-dengung di sekitar kepalaku. Aku mencoba menepuknya dengan kedua tangan, tapi gagal.

Jan, Ivy, dan aku mengendap-endap menyusuri sisi gedung asrama.

Sepatuku tergelincir terus pada rumput yang basah karena embun.

Lampu-lampu yang terang menyorot dari pohon-pohon, menerangi jalan setapak.

Kami menyelinap di tempat-tempat gelap.

"Dari mana kita harus mulai mencari?" bisik Ivy.

"Dari gedung utama saja," sahutku. "Barangkali para juara masih berpesta di sana."

"Aku tidak mendengar suara pesta," bisik Jan. "Di sini sepi sekali!"

Ia benar. Bunyi yang terdengar di sekitar kami hanyalah suara jangkrik dan bunyi daun-daun berdesir karena tertiup angin malam yang hangat.

Kami menyusuri jalan setapak ke arah gedung utama.

Kami melewati kolam renang, yang kini kosong dan sunyi. Airnya mengilap bagaikan perak di bawah lampu-lampu sorot yang terang-benderang.

Saking panas dan lembapnya, aku membayangkan diriku mencebur ke kolam dengan pakaian lengkap.

Tapi kami sedang melaksanakan misi: mencari Dierdre. Tak ada waktu untuk memikirkan soal nikmatnya berenang malam-malam.

Kami melewati deretan meja pingpong sambil bergerombol rapat-rapat. Aku jadi teringat Elliot. Dalam hati aku bertanya sedang apa dia sekarang? Kemungkinan besar sih, ia sudah tertidur pulas. Dan seharusnya begitu.

Kami sedang menghampiri lapangan tenis pertama ketika Ivy tiba-tiba berseru, "Awas!" Serta-merta dia menarikku dan mendorongku ke pagar.

Aku mendengar suara langkah di jalan setapak. Seseorang sedang bersenandung.

Kami bertiga menahan napas ketika seorang pembina melewati persembunyian kami. Ia berambut hitam ikal dan mengenakan kacamata hitam, walaupun hari sudah malam. Ia memakai seragam para pembina di camp ini t-shirt putih dan celana pendek putih.

Kami merapatkan punggung ke pagar lapangan tenis.

"Itu Billy," bisik Jan. "Dia keren juga, lho. Dan selalu ceria."

"Tapi dia takkan senang kalau memergoki kita di sini," sahut Ivy, juga berbisik. "Kita bakal dapat kesulitan besar."

Sambil bersenandung dan menjentik-jentikkan jari, Billy berjalan melewati kami, menyusuri jalan setapak mengelilingi lapangan tenis.

Aku memperhatikannya sampai ia menghilang dari pandangan.

Kutarik napas dalam-dalam. Rupanya sejak tadi aku terus menahan napas!

"Mau ke mana dia?" tanya Ivy dengan heran.

"Ehm, barangkali dia mau ke pesta di gedung utama," aku menebak.

"Kenapa kita tidak tanya dia saja?" Jan berkelakar.

"Boleh, tapi kau saja yang tanya," jawabku.

Kami menoleh ke kiri-kanan. Setelah yakin keadaan sudah aman, kami kembali bergerak.

Kami melewati deretan lapangan tenis. Lampu-lampu sorot di pepohonan menghasilkan bayang-bayang panjang. Bayangan-bayangan itu bergerak-gerak karena dahan-dahan pohon tertiup angin.

Sepintas lalu mirip makhluk-makhluk gelap yang menggeliat-geliut di tanah.

Aku merinding, padahal udaranya gerah sekali.

Rasanya aneh juga berjalan melintasi bayang-bayang yang bergerak-gerak itu. Aku agak waswas, takut salah satunya tiba-tiba meraih ke atas, mencengkeram kakiku, lalu menarikku ke bawah.

Ada-ada saja, ya?

Aku berbalik dan melihat jendela-jendela di asrama menjadi gelap.

Rupanya sudah waktunya lampu-lampu dimatikan.

Kutepuk pundak Jan. Ia berpaling ikut memandangi gedung asrama.

Ketika lampu-lampu padam satu per satu, gedung itu seakan-akan menghilang di depan mata kami. Bangunannya seperti ditelanMkegelapan malam.

"B-barangkali lebih baik kita kembali saja," aku berbisik.

Ivy tidak menyahut. Ia menggigit bibir. Dengan mata terbelalak ia memandang kegelapan yang menyelubungi kami.

Jan ketawa. "Huh, dasar penakut semua!" ejeknya. "Ayo, dong! Sudah tanggung, nih. Kita sudah hampir sampai di gedung utama."

Kami mengambil jalan pintas lewat lapangan sepak bola. Gedung utama berada di atas bukit rendah yang landai, tersembunyi di balik pohon-pohon tua.

Dari kaki bukit pun sudah kelihatan bahwa gedung utama sama gelapnya dengan gedung asrama.

"Tak ada pesta di situ," bisikku.

Ivy mendengus karena kecewa. "Huh, kalau begitu, dimana dong Diedre?"

"Coba kita cari di asrama cowok!" aku bergurau. Jan dan Ivy ketawa.

Tapi kami segera terdiam karena mendengar bunyi kepak-kepak, dekat sekali.

"Iiih, apa itu?" tanya Ivy

"Ohhh!" aku memekik tertahan ketika mendongak dan melihat sumber suara itu.

Langit tertutup kelelawar. Lusinan kelelawar hitam.

Kawanan kelelawar itu terbang di atas lampu-lampu sorot di pepohonan. Lalu menukik untuk menyambar kami!



Bagi anda yang berminat dengan permainan kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di poker online indonesia online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.

Tidak ada komentar:

close
agen ceme online