Horor Di Camp Jellyjam | Goosebumps #33 | Chapter 12

Chapter 12


"OHHH!" Aku memekik kaget dan melepaskan gagang telepon.


Gagang itu berputar-putar pada talinya.

Aku berbalik. "Dierdre! Kau bikin aku kaget setengah mati!" seruku.

Matanya yang hijau tampak berbinar-binar. "Sori Wendy. Tapi aku sudah tidak sabar untuk menceritakan kabar baik ini! Lihat, nih!"

Ia mengulurkan tangan. Aku melihat setumpuk King Coin berwarna emas.

"Aku baru dapat keping keenam!" Dierdre berkata dengan berapi-api. "Asyik, ya?"

"Ehm ya," sahutku ragu. Aku tetap tidak mengerti kenapa orang-orang di sini begitu ngotot mendapatkan keping-keping itu.

"Nanti malam aku ikut Upacara Juara!" seru Dierdre. "Akhirnya berhasil juga!"

"Wah, selamat ya," ujarku.

"Kau sudah dapat King Coin?"

"Ehm... belum," sahutku.

"Ayo, dong!" Dierdre mendesakku. "Tunjukkan kehebatanmu, Wendy. Hanya Yang Terbaik!" Ia mengacungkan jempol sambil tersenyum.

"Yeah. Hanya Yang Terbaik," aku mengulangi.

"Nanti malam kita bikin pesta," Dierdre melanjutkan. "Di kamar kita. Sehabis Upacara Juara, oke? Kita bikin perayaan."

"Oke," sahutku. "Barangkali kita bisa pesan piza dari kantin."

"Tolong kasih tahu Jan dan Ivy," Dierdre menyuruhku: "Atau biar aku saja. Atau siapa yang duluan ketemu mereka, deh! Sampai nanti!"

Ia bergegas pergi sambil menggenggam erat keenam keping emasnya.

Baru sekarang aku sadar bahwa aku sedang tersenyum. Saking berapi-apinya Dierdre, aku jadi ikut-ikutan bersemangat. Aku jadi begitu bersemangat sampai lupa bahwa aku sebenarnya mau menelepon ke rumah.

Aku harus mencoba menikmati suasana persaingan di sini, kataku dalam hati. Hanya Yang Terbaik. Turnamen tenis ini harus kumenangkan!

***

Kami makan malam di meja-meja kayu yang panjang di ruang makan yang luas di gedung utama. Ruangan yang panjang dan berlangit-langit tinggi itu seakan-akan tak berujung.

Sorak-sorai dan canda tawa bergema dari dinding-dinding, mengalahkan suara piring dan sendok yang berdenting-denting. Semua orang asyik bercerita. Semuanya ingin bercerita tentang pertandingan yang sudah diikuti.

Seusai makan malam, para pembina mengajak kami ke lapangan atletik. Aku mencari-cari adikku. aku tidak berhasil menemukannya di tengah kerumunan orang.

Udara senja terasa hangat. Tak ada segumpal awan pun di langit. Bulan sabit seakan-akan melayang di atas pepohonan yang gelap.

Ketika matahari terbenam, langit berubah warna dari merah muda ke ungu lalu kelabu.

Kegelapan malam mulai menyelubungi lapangan atletik. Di ujung lapangan aku melihat dua titik cahaya yang berkerlap-kerlip menuju ke arahku. Sesaat kemudian aku menyadari kedua titik cahaya itu sebenarnya sepasang obor yang dibawa oleh dua pembina.

Suara terompet yang nyaring membuat kami terdiam.

Aku merapat pada Jan, yang berdiri di sebelahku. "Rasanya urusan ini terlalu dibesar-besarkan, ya?" aku berbisik padanya.

"Acara ini memang penting!" balas Jan. Pandangannya lurus ke depan ketika kedua obor itu mendekat.

"Kita sudah punya makanan untuk pesta nanti?" aku berbisik lagi.

Jan menempelkan telunjuk ke bibir. "Ssst!" Beberapa obor lain dinyalakan. Bola-bola cahaya itu bersinar bagaikan matahari kecil.

Aku mendengar suara genderang. Kemudian lagu mars membahana dari semua pengeras suara.

Kami berdiri sambil membisu ketika iring-iringan obor itu lewat di hadapan kami. Lalu, dalam cahaya kuning yang berkerlap-kerlip, aku melihat wajah-wajah. Wajah-wajah penuh senyum dari anak-anak yang memperoleh King Coin keenam hari itu.

Semuanya ada delapan orang. Lima cowok dan tiga cewek.

Keping-keping emas mereka dikalungkan bagaikan medali pada leher masing-masing. Keping-keping itu memantulkan cahaya obor dan membuat wajah para peserta seakan-akan bersinar.

Dierdre berada di urutan kedua dari depan. Ia kelihatan begitu gembira dan bersemangat! Keping-kepingnya tergantung di leher. Ia terus mengembangkan senyum.

Jan dan aku melambaikan tangan dan memanggil-manggilnya, tapi ia lewat begitu saja.

Tiba-tiba suara seorang pembina berkumandang dari pengeras suara, "Berikan tepuk tangan yang meriah untuk para juara yang mengikuti Upacara Juara malam ini!"

Sorak-sorai anak-anak yang menonton upacara terasa memekakkan telinga. Kami bertepuk tangan, berseru-seru, dan bersuit-suit sampai semua juara melewati kami dan obor terakhir menghilang dari pandangan.

"Hanya Yang Terbaik!" suara tadi berkata melalui pengeras suara.

"Hanya Yang Terbaik!" kami semua menyahut. "Hanya Yang Terbaik!"

Itulah akhir dari Upacara Juara. Lampu-lampu dinyalakan kembali.

Kami semua bergegas ke asrama. Anak-anak cowok berlari ke kanan, anak-anak cewek ke kiri.

"Iring-iringan obor tadi keren juga, ya?" ujarku kepada Jan ketika kami mengikuti kerumunan anak cewek yang menyusuri jalan setapak ke asrama.

"Aku cuma membutuhkan dua King Coin lagi," balas Jan. "Barangkali bisa kudapat besok. Kau juga ikut tumamen softball?"

"Tidak. Aku ikut turnamen tenis," kataku.

"Di sini terlalu banyak pemain tenis yang jago," ujar Jan. "Pasti sulit sekali untuk memenangkan King Coin di situ. Lebih baik kau ikut softball saja."

"Ehm... lihat besok, deh," sahutku.

Ivy sudah menunggu di kamar. "Mana Dierdre?" tanyanya ketika Jan dan aku masuk.

"Kami juga tidak melihat dia," jawab Jan. "Kemungkinan sih dia masih berkumpul dengan para juara lainnya," aku menambahkan.

"Aku menemukan dua kantong tortilla chips, tapi salsa-nya tidak ada,"

Ivy melaporkan sambil memperlihatkan kedua kantong itu.

"Terus, minumannya apa?" tanyaku.

Ivy mengangkat dua kaleng Diet Coke.

"Wah, ini bakal jadi pesta yang asyik!" seru Jan tertawa.

"Bagaimana kalau kita undang beberapa anak dari kamar-kamar lain?" aku mengusulkan.

"Jangan! Nanti Coke-nya harus kita bagi-bagi dengan mereka," Jan memprotes.

Kami langsung ketawa.

Kami bercanda dan tertawa sekitar setengah jam sambil menunggu Dierdre. Kami duduk di lantai dan membuka satu kantong tortilla chips.

Kami mengobrol ke sana kemari, dan tahu-tahu, tanpa terasa, isi kantong itu sudah kami sikat habis. Lalu kami membuka satu kaleng Coke.

"Aduh, mana sih dia?" tanya Jan, sambil melirik jam tangannya.

"Sudah hampir waktunya lampu dimatikan," ujar Ivy sambil menghela napas dengan kecewa. "Waktu kita tinggal sedikit untuk berpesta."

"Barangkali Dierdre lupa bahwa kita mau bikin pesta," aku menduga-duga. Kuremas-remas kantong tortilla chips yang sudah kosong itu, lalu kulempar ke arah keranjang sampah.

Lemparanku meleset. Aku memang kurang berbakat main bola basket.

"Tapi kan dia sendiri yang punya ide untuk bikin pesta!" balas Ivy. Ia berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. "Ke mana ya dia? Jam segini semua orang seharusnya sudah di kamar masing-masing."

"Ayo, kita cari dia," ujarku. Kata-kataku itu meluncur begitu saja dari mulutku. Kadang-kadang aku memang begitu. Kadang-kadang aku dapat ide cemerlang sebelum aku sadar apa yang kukatakan.

"Ya! Kita cari dia!" Ivy mendukungku.

"Hei, tunggu dulu," ujar Jan. Ia melangkah ke depan kami dan menghalangi jalan ke pintu. "Ini tidak boleh. Kau kan tahu peraturannya, Ivy. Kita tidak boleh keluar asrama sesudah jam sepuluh."

"Kita keluar diam-diam, mencari Dierdre, lalu menyusup masuk lagi," balas Ivy. "Ayo, Jan. Kenapa sih harus takut?"

"Yeah, kenapa harus takut?" aku menimpali.

Jan kalah suara. "Oke, oke. Mudah-mudahan saja kita tidak kepergok," gumamnya. Ia mengikuti Ivy dan aku ke pintu.

"Kenapa harus takut?" aku bertanya pada diriku sendiri ketika aku keluar ke koridor yang sepi.

"Kenapa harus takut?" aku mengulangi ketika kami menyelinap keluar dari asrama dan memasuki kegelapan malam.

"Kenapa harus takut?"

Aku tidak tahu. Tapi sebenarnya jawaban terhadap pertanyaan itu adalah: KARENA MEMANG ADA YANG MENAKUTKAN!



Bagi anda yang berminat dengan permainan kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di agen poker online indonesia dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.

Tidak ada komentar:

close
agen ceme online