Chapter 8
KOLAM renang
yang besar itu tampak berkilauan. Matahari bersinar cerah. Lantai semen di
sekeliling kolam seakan membakar telapak kakiku. Aku benar-benar sudah tak
sabar ingin menyebur.
Sambil
melindungi mata dengan sebelah tangan, aku memandang berkeliling untuk mencari
Elliot. Tapi aku tidak berhasil menemukannya di tengah kerumunan anak-anak yang
sudah menunggu untuk menonton pertandingan.
Elliot pasti
sudah ikut tiga macam olahraga, kataku dalam hati. Camp ini memang cocok sekali
untuknya!
Diam-diam
aku mengamati para peserta yang telah berbaris. Kami semua berdiri di tepi
kolam renang, menunggu pertandingan dimulai.
Aku
berhitung dalam hati. Paling tidak ada dua lusin peserta. Dan kolamnya cukup
lebar, sehingga semua memperoleh lintasan sendiri.
"Hei,
kau pantas sekali memakai baju renangku," ujar Dierdre. Ia menatapku
dengan matanya yang hijau. "Mestinya rambutmu diikat saja, Wendy. Kau bisa
berenang lebih cepat kalau rambutmu diikat."
Wow,
pikirku. Dierdre tidak main-main soal pertandingan ini.
"Kau
jago renang, ya?" tanyaku padanya.
Ia menepuk
lalat yang hinggap di betisnya. "Aku yang terbaik," jawabnya sambil
nyengir. "Kau bagaimana?"
"Aku
belum pernah ikut pertandingan."
Para pembina
yang bertugas di kolam renang semuanya wanita muda. Dan semuanya mengenakan
baju renang berwarna putih. Di seberang kolam, aku melihat Holly duduk di
pinggir papan loncat indah. Ia sedang bicara dengan pembina lain.
Seorang
pembina jangkung berambut merah menghampiri tepi kolam dan meniup peluit.
"Semuanya siap?" ia berseru.
Kami semua
menyahut "Ya!" secara serempak. Kemudian suasana jadi hening. Kami
berpaling ke kolam renang, membungkuk, dan bersiap-siap melakukan start.
Permukaan
air tampak berkilauan. Matahari membakar punggung dan pundakku. Rasanya aku
sudah mau meleleh. Aku sudah tak sabar ingin terjun.
Peluit
kembali berbunyi. Aku melompat ke depan lalu nyebur ke air.
Air yang
dingin sempat membuatku terkejut ketika mengenai kulitku yang panas. Lenganku
berayun kencang ketika aku mulai melesat maju.
Suara tangan
dan kaki yang membelah air menyerupai gemuruh air terjun. Kubenamkan wajah
dalam air, merasakan dinginnya air yang menyegarkan.
Ketika
menoleh, kulihat Dierdre beberapa meter di belakangku. Ia berenang dengan irama
yang mantap. Tangan dan kakinya bergerak anggun.
Aku paling
depan, aku menyadari sambil melirik para peserta lain.
Aku bakal
menang!
Dengan satu
tendangan kuat aku sampai di ujung kolam. Cepat-cepat aku berbalik dan kembali
mengayunkan tangan. Para peserta lain belum sampai di ujung, dan aku berpapasan
dengan mereka.
Kepalaku
mulai berdenyut-denyut.
Aku yakin
lap pertama bakal kumenangkan dengan mudah. Tapi setelah itu masih ada tiga lap
lagi.
Tiga lap...
Tiba-tiba
aku sadar betapa bodohnya aku. Para peserta yang lain sengaja berenang agak
pelan. Mereka sengaja menyimpan tenaga karena tahu pertandingan ini menempuh
jarak empat lap.
Kalau aku
terus berenang sekencang ini, dua lap pun aku takkan sanggup!
Kutarik
napas dalam-dalam, lalu kuembuskan pelan-pelan.
Pelan-pelan...
pelan-pelan...
Itu kata
kuncinya.
Kuperlambat
tendangan kakiku. Kuperlambat ayunan tanganku. Dan aku menarik napas
dalam-dalam. Dalam-dalam dan pelan-pelan.
Ketika aku
membalik dan mulai menempuh lap kedua, beberapa perenang lain sudah berada di
sampingku. Aku sempat bertatapan dengan Dierdre ketika ia berenang melewatiku.
Ia terus
mengayunkan tangan dan kaki dengan irama yang mantap.
Ayun. Ayun.
Napas. Ayun.
Di sebelah
Dierdre, kulihat Jan meluncur dengan ringan, seakan-akan tanpa mengerahkan
tenaga. Jan begitu kecil dan enteng. Ia seperti mengambang di atas air.
Memasuki lap
ketiga, aku tertinggal beberapa meter di belakang Dierdre. Aku berkonsentrasi
penuh untuk mengatur kecepatan. Aku berlagak jadi robot yang sudah diprogram
untuk berenang pelan-pelan.
Memasuki lap
keempat, Dierdre berada beberapa detik di depanku.
Kulihat
roman mukanya berubah ketika ia berbalik. Ia memicingkan mata. Wajahnya
kelihatan kencang dan tegang.
Dierdre
benar-benar kepingin menang, aku menyadari.
Sanggupkah
aku mengejarnya? Hmm, aku jadi penasaran. Siapa tahu aku malah mampu
mengalahkan dia.
Aku berbalik
dan menambah kecepatan.
Rasa pegal
di kedua lenganku tak kugubris. Kaki kiriku yang kram tak kuhiraukan.
Aku melaju
dengan kencang sambil menendang-nendang dengan sekuat tenaga. Lenganku
membelah-belah air.
Semakin
kencang.
Aku mulai
mengejar Jan. Aku melihat kekecewaan di wajahnya ketika ia kususul.
Aku melesat
bagaikan ikan hiu yang mengejar mangsa. Tangan dan kakiku menimbulkan bunyi
gemuruh yang mengalahkan sorak-sorai para penonton di sekeliling kolam.
Jantungku
berdegup begitu keras sampai aku takut dadaku bakal meledak.
Tanganku
terasa berat sekali, seakan-akan membawa beban lima ratus kilo.
Tambah
kencang...
Kini aku
sudah hampir sejajar dengan Dierdre. Sedikit lagi. Aku begitu dekat sehingga
bisa mendengar suara napasnya.
Aku melirik
wajahnya yang tampak tegang karena berkonsentrasi.
Persis
seperti Elliot, kataku dalam hati. Ia benar-benar ngotot.
Sering kali
aku membiarkan Elliot memenangkan suatu permainan.
Soalnya ia
jauh lebih kepingin menang daripada aku. Sama seperti Dierdre.
Ketika kami
mendekati ujung kolam, aku membiarkan Dierdre menduluiku.
Habis, ia
begitu ngotot untuk menang. Ia begitu ngotot untuk jadi juara.
Ya sudah,
pikirku. Juara dua juga lumayan. Sorak-sorai membahana ketika Dierdre
memenangkan pertandingan.
Aku
menyentuh dinding kolam lalu menyelam ke bawah permukaan.
Kemudian aku
muncul lagi dan meraih tepi kolam. Seluruh badanku terasa pegal. Napasku
terengah-engah. Kupejamkan mata dan kutarik rambutku ke belakang dengan kedua
tangan, sekaligus memerasnya.
Saking
pegalnya tanganku, aku nyaris tak sanggup memanjat keluar.
Aku salah
satu yang terakhir naik dari kolam.
Yang lain
sudah berkerumun di sekeliling Dierdre. Aku menerobos kerumunan itu untuk
melihat ada apa.
Mataku perih
sekali, sehingga beberapa kali kuusap. Lalu aku melihat pembina berambut merah
tadi menyerahkan sesuatu kepada Dierdre.
Sesuatu yang
berwarna emas dan berkilau-kilau.
Semuanya
bersorak-sorai. Kemudian mereka bubar dan pergi ke segala arah.
Aku
menghampiri Dierdre. "Selamat, ya!" seruku. "Aku sudah hampir
menyusulmu. Tapi kau melesat kencang sekali."
"Aku
ikut tim renang di sekolahku," sahutnya. Ia memamerkan benda emas yang
diserahkan pembina tadi.
Baru
sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas. Ternyata sebuah keping emas yang
mengilap. Pada satu sisinya terukir wajah King Jellyjam yang tersenyum lebar.
Kata-kata di sekeliling tepi keping itu tak terbaca olehku, tapi aku sudah bisa
membayangkan apa tulisannya.
"Ini
King Coin kelima yang berhasil kuraih!" Dierdre berkata dengan bangga.
Kenapa sih
ia begitu senang? aku bertanya dalam hati. Keping itu bukan keping sungguhan.
Dan kurasa emasnya juga bukan emas asli.
"Apa
itu King Coin?" tanyaku. Keping itu berkilau-kilau memantulkan sinar
matahari.
"Kalau
aku dapat satu King Coin lagi, aku bisa ikut Upacara Juara,"
Dierdre
menjelaskan.
Sebenarnya
aku masih mau bertanya apa itu Upacara Juara, tapi Jan dan Ivy keburu
menghampiri Dierdre untuk memberi selamat padanya. Ketiga-tiganya berbicara
berbarengan.
Tiba-tiba
aku teringat adikku. Mana sih Elliot? aku bertanya-tanya.
Apa saja
yang dikerjakannya selama ini.
Aku
berpaling dari Dierdre dan yang lain, dan berjalan ke arah pintu keluar kolam
renang. Tapi baru beberapa langkah, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh
dan melihat Holly berlari kecil ke arahku. Ia merengut, seakan-akan ada yang
membuatnya tidak senang. "Wendy, sebaiknya kau ikut aku sebentar,"
katanya padaku.
Aku langsung
deg-degan. "Hah? Ada apa?"
"Kelihatannya
ada sedikit masalah," sahut Holly pelan-pelan.
Bagi anda yang berminat dengan permainan kartu
online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di
agen judi online dan daftar menjadi
member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus.
Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan
menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar