Chapter 17
"JAN ada
apa?" seruku.
Ivy dan aku
langsung berlari ke meja rias.
Jan terus
menatap laci yang baru dibukanya. "Aku salah buka laci," katanya.
"Karena gelap aku menarik lacinya Dierdre. Dan dan lacinya kosong!"
"Hah?"
Ivy dan aku memekik karena kaget.
Sambil
memicingkan mata aku mengamati laci itu. Ternyata memang kosong sama sekali.
"Coba periksa lemari pakaian," aku menyarankan.
Ivy
melintasi ruangan dengan tiga atau empat langkah panjang. Cepat-cepat ia
membuka pintu lemari.
"Barang-barang
Dierdre sudah tidak ada semua!" serunya.
"Aneh,"
gumamku. Kejadian-kejadian malam ini memang aneh.
"Kenapa
dia pergi tanpa memberitahu kita?" tanya Jan.
"Dan ke
mana dia?" Ivy menambahkan. Pertanyaan bagus, pikirku sambil menatap
lemari yang kosong.
Ke mana
Dierdre?
***
Sarapan
adalah acara makan paling ramai sepanjang hari. Mangkuk-mangkuk sereal
berdenting-denting terkena sendok. Botol-botol jus jeruk berdebam-debam ketika
ditaruh kembali ke meja kayu yang panjang.
Suara-suara terdengar
nyaring, seakan-akan ada orang yang memutar tombol volume sampai habis. Semua
orang asyik bercerita mengenai olahraga yang akan diikuti hari ini, dan
permainan-permainan yang hendak dimenangkan.
Aku yang
terakhir mandi. Jadi Jan dan Ivy sudah mulai sarapan waktu aku masuk ke ruang
makan.
Aku
menyusuri gang sempit di antara meja-meja sambil mencari-cari Dierdre. Tapi ia
tidak kelihatan.
Semalam aku
tidak bisa tidur, padahal aku sebenarnya capek sekali.
Aku terus
memikirkan Dierdre dan Alicia., Dan aku juga heran kenapa Mom dan Dad belum
juga menjemput atau paling tidak menghubungi kami.
Aku melihat
Elliot di ujung meja yang ditempati anak-anak laki-laki sebayanya. Piring di
hadapannya berisi setumpuk panekuk, dan ia sedang menuangkan sirop berwarna
gelap.
"Hai,
Elliot!" aku memanggil sambil menghampirinya.
Adikku tidak
merasa perlu berbasa-basi, meskipun sekadar berkata selamat pagi. "Habis
ini aku mau ikut turnamen one-on-one," katanya dengan semangat
berkobar-kobar. Barangkali aku bisa memenangkan King Coin yang ketiga!"
"Yeah,
kau maunya memang menang melulu," sahutku sambil memutar-mutar bola mata.
"Ngomong-ngomong, sudah ada kabar dari Mom dan Dad?"
Elliot
menatapku seakan-akan tidak ingat siapa mereka. Lalu ia menggelengkan kepala.
"Belum. Camp ini asyik sekali, ya? Kita benar-benar beruntung."
Aku diam
saja. Mataku tertuju pada meja satunya. Sepintas lalu aku mengira telah melihat
Dierdre. Tapi ternyata itu anak lain yang juga berambut panjang dan pirang.
"Kau
sudah dapat King Coin?" tanya Elliot. Ia bicara dengan mulut penuh
panekuk. Siropnya menetes-netes dari dagunya.
"Belum,"
jawabku.
Ia ketawa
mengejek. "Khusus untukmu, slogan camp ini harus diubah, Wendy. Hanya Yang
Terburuk!"
Elliot
terbahak-bahak. Teman-temannya di meja itu ikut-ikutan tertawa.
Aku kan
sudah bilang, adikku itu memang konyol.
Aku lagi
tidak kepingin bercanda. Aku masih sibuk memikirkan Dierdre.
"Sampai
nanti," kataku.
Aku berdiri,
lalu berjalan menuju ke sisi anak-anak cewek. Sorak-sorai dan tawa berderai
terdengar dari meja di dekat dinding. Rupanya ada perang telur dadar. Tiga
pembina segera bergegas ke sana untuk menghentikan keramaian itu.
Meja Jan dan
Ivy sudah penuh, jadi aku mengambil tempat di meja sebelahnya yang masih
kosong. Aku menuang segelas jus jeruk dan semangkuk sereal. Tapi sebenarnya aku
tidak terlalu lapar.
"Hei!"
seruku ketika melihat Buddy lewat di depan mejaku. Ia tidak mendengarku di
tengah hiruk-piruk, jadi aku langsung berdiri dan mengejarnya.
"Hai.
Ada apa?" Ia menyambutku dengan senyum lebar. Rambutnya yang pirang masih
basah karena ia baru selesai mandi. Aku mencium wangi bunga, mungkin dari
aftershave-nya.
"Kau
tahu ke mana Dierdre?" tanyaku.
Ia
mengerutkan kening karena bingung. "Dierdre?"
"Teman
sekamarku," aku menjelaskan. "Dia tidak pulang ke kamar semalam. Dan
lemari pakaiannya sudah kosong."
"Dierdre,"
ia mengulangi sambil berpikir keras. la mengangkat clipboard dan mengamati
daftar nama yang terpasang di situ. "Oh, yeah. Ia sudah pergi."
Pipinya jadi agak merah.
"Hah?"
Aku menatapnya sambil terbengong-bengong. "Dierdre sudah pergi? Pergi ke
mana? Pulang ke rumahnya?"
Buddy
kembali menatap daftar nama itu. "Mungkin. Di sini cuma ditulis bahwa dia
sudah pergi." Pipinya semakin merah.
"Aneh,"
ujarku. "Kenapa dia tidak pamitan? Ia sama sekali tidak bilang
apa-apa."
Buddy angkat
bahu, kemudian mengembangkan senyum. "Selamat bersaing hari ini!"
Ia menuju ke
meja pembina di bagian depan ruangan yang luas. Tapi cepat-cepat aku mengejarnya
dan menarik tangannya.
"Buddy,
satu pertanyaan lagi," kataku. "Aku sedang mencari gadis cilik
bernama Alicia. Kau tahu di mana aku bisa menemukan dia?"
Buddy
melambaikan tangan ke arah serombongan anak cowok di seberang ruangan.
"Ayo, tunjukkan kehebatan kalian! Hanya Yang Terbaik!" serunya kepada
mereka. Kemudian ia berpaling padaku. "Alicia?"
"Aku
tidak tahu nama belakangnya. Umurnya sekitar enam atau tujuh tahun,"
ceritaku. "Rambutnya panjang berwarna merah, dan mukanya penuh bintik-bintik."
"Alicia..."
Buddy menggigit-gigit bibir. Lalu ia kembali melihat clipboardnya.
Aku
memperhatikannya menyusuri daftar nama dengan telunjuknya.
Waktu
jarinya berhenti, pipinya jadi merah lagi.
"Oh,
yeah. Alicia," katanya sambil menurunkan clipboard. Ia menatapku sambil
nyengir. Tapi senyumnya agak aneh. Agak menakutkan. "Ia juga sudah
pergi."
Bagi anda yang berminat
dengan permainan kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link
situs kami di poker online indonesia online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka
anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan
fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar