Chapter 18
"JAN!
Ivy!" aku langsung mengejar mereka ketika melihat mereka bergegas
meninggalkan ruang makan. "Kita harus bicara!" kataku sambil
tersengal-sengal.
"Nanti
saja. Sudah telat, nih." Jan merapikan rambutnya dengan sebelah tangan.
"Kalau terlambat sampai di lapangan voli, kita tidak bisa ikut
turnamen."
"Tapi
ini penting!" teriakku ketika mereka berlari ke pintu.
Sepertinya
mereka tidak mendengarku. Mereka pergi tanpa menoleh lagi.
Jantungku
berdebar-debar. Tiba-tiba seluruh tubuhku terasa dingin.
Aku kembali
menghampiri adikku. Ternyata ia sedang bermain tinju dengan anak laki-laki
kurus jangkung berambut pirang.
"Elliot
coba ke sini," aku memerintahkan. "Sebentar saja."
"Sori,
tidak bisa," sahutnya. "Aku kan mau ikut kontes one-on-one."
Teman adikku
itu bergegas ke pintu. Aku cepat-cepat melangkah maju untuk menghalangi jalan
Elliot.
"Jangan
macam-macam!" serunya. "Nanti aku telat. Aku akan melawan Jeff. Masih
ingat dia, kan? Aku bisa mengalahkan dia. Tubuhnya memang besar, tapi agak
lamban."
"Elliot,
ada sesuatu yang aneh di sini," ujarku. Aku mendesaknya mundur sampai ke
dinding. Anak-anak yang hendak keluar menatap kami sambil mengerutkan kening.
Tapi aku tidak ambil pusing.
"Kau
yang aneh!" balas Elliot. "Cepat, minggir. Aku harus ke lapangan
basket."
Ia hendak
melewatiku. Tapi aku menahan bahunya dengan kedua tangan.
"Sebentar
saja!" aku berkeras. "Ada yang tidak beres di camp ini, Elliot."
Aku melepaskannya.
"Maksudmu,
bunyi gemuruh itu?" ia bertanya sambil mengusap rambutnya yang gelap
dengan sebelah tangan. "Itu cuma gas di bawah tanah atau semacamnya. Aku
juga sudah tanya pada salah satu pembina, dan dia bilang begitu."
"Bukan
itu maksudku," kataku. "Ada beberapa anak yang hilang."
Ia ketawa.
"Hilang? Maksudmu, hilang tanpa bekas, seperti tipuan sulap?"
"Jangan
bercanda, dong!" hardikku. "Ini tidak lucu, Elliot. Memang ada
anak-anak yang hilang. Kau tahu Dierdre, teman sekamarku? Semalam dia ikut
Upacara Juara. Setelah itu dia tidak kembali ke kamar."
Senyum
Elliot lenyap.
"Tadi
aku diberitahu Buddy bahwa Dierdre sudah pergi," aku melanjutkan. Aku
menjentikkan jari. "Pergi begitu saja. Dan gadis cilik bernama Alicia dia
juga hilang."
Elliot
menatapku dengan matanya yang cokelat. "Paling-paling mereka pulang ke
rumah mereka. Masa mereka harus di sini terus?" sahutnya. "Yang benar
saja!"
"Dan
bagaimana dengan Mom dan Dad?" aku bertanya. "Mana mungkin mereka
tidak segera tahu bahwa karavannya lepas. Kenapa mereka belum menjemput kita?
Kenapa mereka belum juga bisa dihubungi?"
Elliot
angkat bahu. "Mana kutahu," katanya dengan santai. Ia membungkuk lalu
langsung menuju ke pintu. "Wendy, kau tidak betah di sini soalnya kau
memang tidak begitu suka olahraga. Tapi aku senang sekali di camp ini. Jangan ganggu
kesenanganku oke?"
"Tapi—tapi—Elliot"
aku tergagap-gagap.
Sambil
menggelengkan kepala ia membuka pintu dan langsung ke luar.
Aku
mengepalkan tangan karena jengkel. Rasanya ingin kugebuk dia.
Kenapa ia
tidak mau mendengarkan aku? Masa ia tidak tahu bahwa aku benar-benar cemas dan
takut?
Elliot
termasuk anak yang tidak pernah kuatir pada apa pun.
Sepertinya
segala sesuatu selalu sesuai keinginannya. Jadi kenapa harus repot?
Tapi paling
tidak, seharusnya ia agak mencemaskan Mom dan Dad, ya kan?
Mom dan
Dad...
Perasaanku
tidak enak ketika aku berjalan meninggalkan ruang makan. Bagaimana kalau mereka
mengalami kecelakaan? Bagaimana kalau
karena itulah mereka belum menemukan Elliot dan aku?
Jangan.
Jangan bikin situasi bertambah buruk, aku memarahi diriku sendiri. Jangan
biarkan daya khayalmu lepas kendali, Wendy.
Tiba-tiba
aku teringat rencanaku untuk menelepon ke rumah. Ya, ujarku dalam hati. Itulah
yang akan kulakukan sekarang. Aku akan menelepon ke rumah dan meninggalkan
pesan untuk Mom dan Dad pada mesin penerima telepon.
Aku berhenti
di tengah jalan setapak dan mencari-cari telepon umum.
Serombongan
anak cewek yang membawa tongkat hoki berpapasan denganku. Suara peluit
terdengar nyaring dari kolam renang di balik deretan lapangan tenis. Lalu aku
mendengar suara anak-anak terjun ke air.
Semuanya
riang gembira, pikirku kecuali aku.
Aku
memutuskan untuk menelepon ke rumah dulu, lalu mengikuti salah satu olahraga.
Aku butuh kesibukan untuk melupakan segala hal yang membuatku kuatir dan
bingung.
Aku kembali
ke deretan telepon umum berwarna biru-putih di sisi gedung utama. Aku berlari
sekuat tenaga dan langsung mengangkat gagang telepon terdekat.
Gagangnya
kutempelkan ke telinga, lalu kutekan nomor telepon rumah kami.
Kemudian aku
memekik tertahan karena kaget.
Bagi anda yang berminat dengan permainan kartu
online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di
agen judipoker online indonesia dan daftar menjadi
member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus.
Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan
menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar