Chapter 26
SUARA
monster itu kembali menggelegar.
Dierdre
mengendurkan genggamannya. Sambil gemetaran karena ngeri, kami berdua berpaling
ke arah King Jellyjam.
Ternyata ia
meraung sekadar untuk membuat semua orang ketakutan.
Matanya yang
kuning dan berair terpejam rapat. Ia belum melihat Dierdre dan aku.
"Cari
bantuan!" Dierdre berbisik padaku. Kemudian ia mengangkat sponsnya dan
berlari ke sisi King Jellyjam.
Sejenak aku
berdiri seperti patung. Aku sampai tidak bisa bergerak saking ngerinya.
Raungan
monster itu membuatku lari terbirit-birit menyusuri terowongan. Paling tidak,
sekarang aku sudah tahu kenapa tanah di camp begitu sering terguncang-guncang!
Bau
memuakkan dari ruang bawah tanah itu terus mengikutiku ketika aku menaiki
tangga batu yang berputar-putar. Aku takut bau itu akan terus melekat pada
diriku. Jangan-jangan aku takkan pernah bisa bernapas bebas lagi.
Bagaimana
aku bisa menolong anak-anak itu? tanyaku dalam hati.
Apa yang
bisa kulakukan?
Aku terlalu
takut untuk berpikir dengan tenang.
Ketika aku
berlari menerobos kegelapan, aku membayangkan King Jellyjam berkecap-kecap
dengan bibirnya yang ungu. Aku membayangkan bagaimana ia memutar-mutar matanya
yang kuning.
Sementara
keong-keong hitam terus bermunculan dari kulitnya.
Perutku
terasa mual ketika aku sampai di puncak tangga. Tapi aku tahu aku tidak punya
waktu untuk memikirkan diriku. Anak-anak yang dipaksa menjadi budak monster itu
harus kuselamatkan. Begitu juga anak-anak lain di camp sebelum mereka pun ikut
jadi korban.
Aku
menyembulkan kepala lewat pintu lemari. Keempat obor di bagian depan ruang
pertemuan masih menyala. Tapi ruangannya sudah kosong.
Ke mana para
pembina itu? Apakah mereka sedang mencari-cari aku di luar?
Kemungkinan
besar sih begitu.
Apa yang
harus kulakukan sekarang? aku bertanya dalam hati. Aku tidak mungkin bermalam
di dalam lemari ini. Aku harus menghirup udara segar. Aku harus mencari tempat
di mana aku bisa berpikir dengan tenang.
Dengan
hati-hati aku meninggalkan igloo itu. Melangkah ke malam yang tak berbintang.
Sambil bersembunyi di balik pohon besar, aku mengamati keadaan sekeliling.
Berkas-berkas
sinar berwarna putih berkerlap-kerlip di balik pepohonan. Cahaya senter.
Ya, pikirku.
Para pembina sedang mencariku.
Aku mundur,
menjauhi berkas-berkas sinar yang saling bersilangan.
Sambil
berusaha untuk tidak bersuara, aku menyelinap di antara pohon-pohon dan
ilalang, menuju ke jalan setapak yang akan membawaku ke gedung utama.
Barangkali
aku bisa kembali ke asrama dan memperingatkan semua anak. Tapi apakah mereka
akan percaya? Dan bagaimana kalau ada pembina yang berjaga-jaga di situ?
Bagaimana kalau mereka sengaja menunggu aku muncul?
Aku
mendengar suara-suara di jalan setapak. Cepat-cepat aku bersembunyi di balik pohon
dan membiarkan dua pembina lewat.
Cahaya
senter di tangan mereka menyapu seluruh lereng bukit.
Begitu
mereka tidak kelihatan, aku keluar dari persembunyianku. Aku berlari menuruni
bukit. Sambil berlindung di kegelapan bayang-bayang, aku bergegas melewati
kolam renang. Melewati deretan lapangan tenis. Semuanya gelap dan sunyi.
Semak-semak
tinggi di sisi lapangan atletik akan melindungiku dari segala arah, pikirku.
Cepat-cepat aku menyelinap. Napasku terengah-engah. Aku segera berlutut dan
merangkak ke tempat persembunyianku yang baru.
Aku
menduduki lapisan daun cemara di bawah semak-semak. Dan memandang berkeliling.
Tak ada apa-apa selain kegelapan yang pekat.
Aku menarik
napas panjang. Satu kali. Dua kali. Udaranya begitu segar.
Aku harus berpikir,
aku berkata dalam hati. Harus berpikir...
***
Aku
terbangun karena suara-suara yang berseru-seru.
Rupanya aku
sempat ketiduran. Wah, di mana aku?
Aku berkedip
beberapa kali. Lalu duduk tegak sambil meregangkan otot-otot. Seluruh tubuhku
terasa kaku. Punggungku pegal sekali.
Aku
memandang berkeliling. Ternyata aku masih di tempat persembunyianku di tengah
semak-semak. Hari sudah terang, tapi langit masih mendung dan kelabu. Matahari
masih berusaha menembus lapisan awan dengan sinarnya.
Dan
suara-suara yang kudengar?
Siapa itu
yang bersorak-sorai?
Aku berdiri
dan mengintip dari balik semak-semak.
Pertandingan
atletik! Pertandingannya baru saja dimulai. Aku melihat enam anak cowok dengan
celana pendek dan t-shirt, berlari sekuat tenaga mengelilingi lapangan.
Segerombolan anak dan pembina berseru-seru menyemangati mereka.
Dan siapa
yang berada paling depan?
Elliot!
"Aduh!"
seruku. Suaraku masih parau karena aku baru bangun.
Aku keluar
dari semak-semak. Melintasi rumput, menuju lapangan.
Aku tahu aku
harus menghentikan Elliot. Ia tidak boleh memenangkan pertandingan ini. Jangan
sampai ia mendapatkan kepingnya yang keenam. Kalau ia sampai menang, maka ia
juga bakal dijadikan budak!
Elliot
berlari dengan kencang. Ia berada jauh di depan kelima pelari lainnya.
Apa yang
harus kulakukan? Apa?
Tiba-tiba
aku teringat isyaratku.
Suitanku
dengan dua jari. Isyaratku agar Elliot jangan terlalu menggebu-gebu.
Ia akan
mendengarnya dan mengurangi kecepatan, kataku dalam hati.
Kutempelkan
dua jari ke bibir.
Kemudian aku
meniup keras-keras.
Tapi tak ada
suara apa pun. Mulutku terlalu kering.
Jantungku
berdegup-degup. Aku mencoba sekali lagi.
Tetap saja
tidak berhasil.
Elliot
memasuki putaran terakhir. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah
kemenangannya.
Bagi anda yang berminat dengan permainan poker online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di agen judi poker online terpercaya dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar