Chapter 15
EMBUSAN
angin panas mengguncangkan pepohonan. Bayangan-bayangan gelap di tanah langsung
ikut menari-nari.
Aku melompat
mundur karena kaget mendengar jeritan itu.
"Tolong!
Tolong aku!"
Ia muncul
dari balik lapangan tenis. Ia mengenakan celana pendek biru dan kaus tanpa
lengan berwarna merah muda.
Tangannya
melambai-lambai. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar di belakangnya.
Aku langsung
mengenalinya.
Ia adalah
gadis cilik berambut merah dengan muka penuh bintik-bintik. Gadis cilik yang
bersembunyi di hutan dan memperingatkan aku agar tidak masuk ke camp.
"Tolong
aku!"
Ia langsung
menabrakku, lalu menangis terisak-isak. Aku merangkul pundaknya dan memeluknya
erat-erat.
"Ssst,
jangan menangis," bisikku. "Kau tak perlu takut."
Serta-merta
ia meronta dan membebaskan diri dari pelukanku.
"Ada
apa sih?" tanya Jan. "Kenapa kau ada di luar sini?"
"Kenapa
kau belum tidur?" Ivy menambahkan sambil melangkah ke sampingku.
Gadis cilik
itu tidak menyahut. Seluruh badannya gemetar.
Ia meraih
tanganku dan menarikku ke balik semak-semak di sisi jalan setapak. Jan dan Ivy
menyusul.
"A-aku
takut," katanya sambil mengusap air mata dari pipinya. "A-aku"
"Siapa
namamu?" Jan bertanya pelan-pelan.
"Kenapa
kau ada di sini?" tanya Ivy lagi.
Kepak sayap
kelelawar terdengar lagi di atas kami. Tapi bunyi itu tak kugubris. Aku terus
menatap gadis cilik yang berdiri di hadapan kami.
"Aku namaku
Alicia," sahutnya sambil berusaha menahan tangis. "Kita harus lari.
Cepat!"
"Hah?"
aku berseru. "Coba tarik nafas dalam-dalam dulu, Alicia. Kau tidak perlu
takut. Sungguh."
"Kalian
tidak tahu, sih," dia memekik sambil menggelengkan kepala.
"Kau
sudah aman sekarang. Kau bersama kami," aku berkeras.
"Kita
tidak aman," balasnya. "Tak ada yang aman di sini. Aku sudah coba
kasih tahu semua orang. Aku sudah kasih tahu kalian..."
Suaranya
kembali terputus karena dia menangis lagi.
"Sebenarnya
ada apa sih?" ujar Ivy.
"Apa
yang mau kauberitahukan kepada kami?" Jan bertanya sambil jongkok di depan
gadis cilik itu.
"A-aku
melihat sesuatu yang mengerikan," Alicia tergagap-gagap. "Aku"
"Apa
yang kaulihat?" Aku mulai tidak sabar.
"Aku
diam-diam mengikuti mereka," jawab Alicia. "Dan aku melihatnya.
Mengerikan sekali. A-aku tidak bisa cerita. Pokoknya kita harus lari. Kita
harus kasih tahu yang lain. Semuanya. Kita harus lari. Kita harus kabur dari
sini!"
Ia
mengembuskan napas panjang. Seluruh tubuhnya kembali gemetaran.
"Tapi
kenapa kita harus lari?" tanyaku. Dengan lembut kupegang kedua pundaknya.
Aku kasihan
sekali pada Alicia. Aku ingin menenangkannya. Aku ingin meyakinkan dia bahwa
tak ada yang perlu ditakuti. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.
Apa yang ia
lihat? Apa yang membuatnya begitu ketakutan?
Apakah ia
baru saja bermimpi buruk?
"Kita
harus kabur! Sekarang!" ia mengulangi dengan nada melengking. Rambutnya
yang merah menempel di wajahnya yang basah karena air mata. Ia meraih tanganku
dan menarik-nariknya dengan keras. "Cepat! Kita harus kabur! Aku
melihatnya!"
"Melihat
apa?" seruku.
Alicia tidak
sempat menjawab.
Seorang
pembina berambut gelap melangkah ke depan semak-semak.
"Nah,
sedang apa kau!" serunya.
Bagi anda yang berminat
dengan permainan kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link
situs kami di poker online indonesia online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka
anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan
fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar