Horor Di Camp Jellyjam | Goosebumps #33 | Chapter 5

Chapter 5


Aku menatap wajah pria berambut pirang. Matanya yang biru bersinar-sinar dalam cahaya matahari yang cerah.


Pakaiannya serba putih. Ia mengenakan t-shirt putih yang disetrika rapi dan celana putih gombrong. Pada t-shirt-nya tersemat lencana kecil bundar bertulisan HANYA YANG TERBAIK dengan huruf-huruf besar berwarna hitam.

"Ehm...hai," aku akhimya berkata.

Ia menampilkan senyum berkilau. Sepertinya ia punya sekitar dua ribu gigi.

"Hei kalian tidak apa-apa?" tanyanya. Matanya yang biru semakin cerah.

"Yeah, kami baik-baik saja," sahutku. "Agak kaget, tapi..."

"Kau siapa?" seru Elliot sambil menyembulkan kepala dari pintu.

Senyum orang itu tidak memudar sedikit pun. "Namaku Buddy."

"Aku Wendy Ini Elliot. Kami pikir kau orangtua kami," aku menjelaskan, lalu melompat turun dari karavan.

Elliot menyusul. "Mana Mom dan Dad?" ia bertanya sambil mengerutkan kening.

"Sejak tadi aku tidak melihat siapa-siapa," jawab Buddy. Ia mengamati karavan kami. "Apa yang terjadi? Karavan kalian terlepas?"

Aku mengangguk sambil menepis rambutku yang gelap dari wajahku.

"Sungguh berbahaya," Buddy bergumam. "Kalian pasti ketakutan sekali tadi."

"Aku tidak!" ujar Elliot.

Huh, dasar. Tadi ia gemetar ketakutan dan memanggil-manggil namaku. Sekarang mendadak ia jadi Mister Macho.

"Seumur hidup aku belum pernah setakut tadi," kataku terus terang.

Aku berjalan beberapa langkah dari karavan, mengamati hutan di sekitar kami. Pohon-pohon berayun pelan karena tiupan angin yang lembut. Matahari bersinar cerah. Aku memandang berkeliling sambil melindungi mata dengan sebelah tangan.

Mom dan Dad tidak kelihatan. Jalan raya pun tidak tampak karena tertutup pepohonan yang lebat.

Aku cuma melihat jejak ban yang ditinggalkan karavan kami di tanah.

Entah bagaimana caranya, tapi rupanya karavan kami melewati jalur terbuka di antara pohon-pohon, lalu berhenti di kaki bukit yang terjal.

"Wow. Kami beruntung," aku bergumam.

"Kalian beruntung sekali," Buddy menegaskan dengan riang. Ia menghampiriku, meletakkan kedua tangannya pada pundakku, lalu membalikkan tubuhku. "Coba lihat itu. Lihat, di mana kalian sekarang!"

Aku memandang ke puncak bukit dan melihat lapangan terbuka di antara pohon-pohon. Dan kemudian kulihat spanduk besar berwarna merah-putih, terentang di antara dua tiang. Aku harus memicingkan mata agar bisa membaca kata-kata yang tertulis pada spanduk itu.

Elliot membaca keras-keras: "Camp olahraga King Jellyjam."

"Lokasinya di balik bukit ini," Buddy memberitahu kami sambil tersenyum ramah. "Ayo, ikut aku!"

"Tapi, tapi" adikku tergagap-gagap. "Kami harus mencari orangtua kami!"

"Hei tenang saja. Kalian bisa menunggu mereka di camp," Buddy mencoba meyakinkan dia.

"Tapi, bagaimana mereka tahu kami ada di sana?" protesku. "Mungkin ada baiknya kami tinggalkan pesan untuk mereka."

Buddy kembali tersenyum. "Tidak perlu. Biar aku yang urus," katanya. "Pokoknya, jangan kuatir, deh."

Ia melewati karavan dan mulai menaiki bukit. T-shirt dan celananya yang putih tampak menyilaukan dalam cahaya matahari. Kulihat kaus kaki dan sepatu ketsnya juga berwarna sama.

Itu seragamnya. Dia pasti bekerja di camp itu, ujarku dalam hati.

Buddy menoleh. "Kalian jadi ikut, tidak?" tanyanya sambil melambaikan tangan. "Ayo, kalian pasti suka."

Elliot dan aku bergegas mengikutinya. Kakiku gemetaran. Rasanya seperti masih berada di dalam karavan yang terguncang-guncang.

Semakin tinggi kami menaiki bukit berumput itu, spanduk berwarna merah-putih tadi pun semakin jelas terlihat di hadapan kami. "Camp Olah-raga King Jellyjam," aku membacanya sekali lagi.

Di samping kata-kata tersebut terdapat gambar tokoh kartun yang lucu berwarna ungu. Dia mirip gumpalan permen karet rasa anggur.

Wajahnya dihiasi senyum lebar, dan kepalanya bermahkota emas.

"Siapa itu?" aku bertanya pada Buddy.

Buddy melirik ke spanduk. "Itu King Jellyjam," sahutnya. "Maskot kami."

"Rasanya kurang cocok untuk maskot camp olah-raga," komentarku sambil mengamati raja bertubuh bulat ungu itu.

Buddy diam saja.

"Kau bekerja di camp?" tanya Elliot.

Buddy mengangguk. "Aku senang sekali bekerja di situ. Aku pembina kepala. Jadi selamat datang!"

"Tapi kami tidak bisa ikut," protesku. "Elliot dan aku harus mencari orangtua kami. Kami harus..."

Buddy menaruh tangan di bahuku dan bahu Elliot. Ia menggiring kami ke atas bukit. "Kalian hampir saja celaka. Jadi tak ada salahnya kalian mampir sebentar dan bersenang-senang. Nikmatilah suasana di camp. Sampai aku bisa menghubungi orangtua kalian."

Kami sudah hampir tiba di puncak bukit ketika aku mendengar suara-suara. Suara anak-anak. Mereka sedang bersorak-sorai dan tertawa-tawa.

"Camp olahraga apa ini?" Elliot bertanya pada Buddy.

"Segala macam olahraga ada di sini," sahut Buddy. "Dari pingpong sampai football. Dari croquet sampai sepak bola. Ada renang, tenis, panahan. Malah ada turnamen gundu!"

"Kedengarannya asyik juga!" komentar adikku. Ia menatapku sambil nyengir.

"Hanya yang terbaik!" Buddy berseru sambil menepuk pundak Elliot.

Aku yang pertama tiba di puncak. Begitu sampai di atas, aku langsung memandang ke arah camp yang tampak di balik pohon-pohon.

Sepertinya camp itu membentang sampai bermil-mil!

Aku melihat gedung putih bertingkat dua yang memanjang di kedua sisi. Di antara kedua gedung itu ada beberapa lapangan bermain, lapangan baseball, sederetan lapangan tenis, dan dua kolam renang yang besar sekali.

"Gedung-gedung putih yang panjang itu gedung asrama," Buddy menjelaskan sambil menunjuk. "Itu asrama anak perempuan, dan itu asrama anak laki-laki. Kalian bisa tidur di situ selama kalian tinggal di sini."

"Wow, keren!" Elliot berseru penuh semangat. "Dua kolam renang."

"Ukuran olimpiade," Buddy memberitahunya. "Kami juga punya kompetisi loncat indah. Kalian suka loncat indah?"

"Hanya di tempat tidur," aku berkelakar.

"Wendy suka berenang," Elliot berkata kepada Buddy.

"Kalau tidak salah, nanti sore ada pertandingan renang empat lap," Buddy memberitahuku. "Nanti akan kulihat jadwalnya."

Matahari bersinar cerah ketika kami menuruni jalan setapak di lereng bukit. Tengkukku mulai gatal-gatal. Rasanya asyik juga kalau aku bisa terjun ke kolam renang itu.

"Apakah aku bisa mendaftar untuk ikut baseball?" Elliot bertanya kepada Buddy. "Atau aku harus ikut tim dulu?"

"Kau bebas memilih olahraga yang kau suka," jawab Buddy. "Satu-satunya peraturan di camp ini adalah berusaha dengan sekuat tenaga." Buddy menunjuk lencana di t-shirt-nya.

"Hanya yang terbaik," katanya.

Embusan angin meniupkan rambut ke wajahku. Huh, seharusnya kupotong dulu sebelum kami berangkat berlibur. Aku memutuskan mencari sesuatu untuk mengikatnya begitu aku sampai di asrama.

Di lapangan yang terdekat sedang berlangsung pertandingan sepak bola. Bunyi peluit terdengar nyaring. Para pemain bersorak-sorak. Di ujung lapangan bola ada deretan sasaran untuk panahan.

Buddy mulai berlari kecil menuju ke lapangan. Elliot menghampiriku.

"Hei kita memang ingin berlibur di camp seperti ini, kan?" ujarnya sambil nyengir lebar. "Nah, ternyata berhasil juga."

Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah menyusul Buddy.

Kusibakkan rambutku sekali lagi, lalu mengikuti mereka. Tapi kemudian aku berhenti karena melihat gadis cilik menyembulkan kepala dari balik batang pohon besar.

Umurnya sekitar enam atau tujuh tahun. Rambutnya merah, dan wajahnya penuh bintik-bintik. Dia memakai t-shirt biru pucat dan celana ketat hitam.

"Hei" panggilnya setengah berbisik. "Hei!"

Aku segera menoleh.

"Jangan ke sini!" serunya dengan suara tertahan. "Cepat lari! Jangan ke sini!"



Bagi anda yang berminat dengan permainan kartu online berbayar yang dapat dipercaya, silahkan klik link situs kami di judi bola online dan daftar menjadi member kami sekarang juga, maka anda akan mendapatkan fasilitas dan bonus. Layanan kami ini di dukung dengan fasilitas chat yang selalu siap melayani dan menemani anda selama 24 jam penuh.

Tidak ada komentar:

close
agen ceme online